SELAMAT DATANG DI SITUS AL-BASIYYAH BUNTET PESANTREN MERTAPADA KULON ASTANAJAPURA CIREBON

Rabu, 06 Mei 2015

RISALAH AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH KARYA HADHRATUS SYAIKH KH. M. HASYIM ASY’ARI


RISALAH AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH KARYA HADHRATUS SYAIKH KH. M. HASYIM ASY’ARI (1287 H-1366 H)

رِسَالَةُ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ
( تَأْلِيْفُ الشَّيْخِ مُحَمَّدْ هَاشِمْ أَشْعَرِي (1287-1366هـ

Daftar Isi:
1.      Muqaddimah
2.      Pasal Menjelaskan Tentang Sunnah dan Bid’ah
3. Pasal Menjelaskan Penduduk Jawa Berpegang kepada Madzhab Ahlusunnah wal Jama’ah dan Awal Kemunculan Bid’ah dan Meluasnya di Jawa serta Macam-macam Ahli Bid’ah di Zaman ini
4. Pasal Menjelaskan tentang Khitthah Ajaran Salaf Shaleh dan Menjelaskan yang Dikehendaki “As-Sawadul A’dzam” di Era ini serta Menjelaskan Pentingnya Berpegang Teguh pada Salah Satu Madzhab yang Empat
5.      Pasal Menjelaskan Wajibnya Taqlid bagi Orang yang Tidak Memiliki Keahlian untuk Berijithad
6.      Pasal Menjelaskan Perpecahan Umat Nabi Muhammad Saw. Menjadi 73 Sekte dan Penjelasan tentang Pokok-pokok Sekte yang Sesat dan Penjelasan Golongan yang Selamat, Yakni Ahlussunnah wal Jama’ah

1.      Muqaddimah

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
اَلْحَمْدُ للهِ شُكْرًا عَلَى نَوَالِهِ, وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَﺁلِهِ, وَبَعْدُ, فَهَذَا كِتَابٌ أَوْدَعْتُ فِيْهِ شَيْئًا مِنْ حَدِيْثِ الْمَوْتَى وَأَشْرَاطِ السَّاعَةِ, وَشَيْئًا مِنَ الْكَلَامِ عَلَى بَيَانِ السُّنَّةِ وَالْبِدْعَةِ, وَشَيْئًا مِنَ الْأَحَادِيْثِ بِقَصْدِ النَّصِيْحَةِ, وَالَى اللهِ الْكَرِيْمِ أَمُدُّ اَكُفَّ الْاِبْتِهَالِ, أَنْ يَنْفَعَ بِهِ نَفْسِيْ وَأَمْثَالِيْ مِنَ الْجُهَّالِ, وَأَنْ يَجْعَلَ عَمَلِيْ خَالِصًا لِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ, إِنَّهُ جَوَادٌ رَؤُوْفٌ رَحِيْمٌ, وَهَذَا أَوَانُ الشُّرُوْعِ فِي الْمَقْصُوْدِ, بِعَوْنِ الْمَلِكِ الْمَعْبُوْدِ .

Bismillahirrahmanirrahim. Segala puji bagi Allah, sebagai sebuah ungkapan rasa syukur atas segala anugerahNya.  Rahmat ta’dzim dan  salam mudah-mudahan terlimpahcurahkan kepada  junjungan kita Nabi Muhammad Saw. dan seluruh keluarga beliau.
Apa yang akan hadir dalam kitab ini, saya tuturkan beberapa hal antara lain: Hadits-hadits tentang orang-orang yang mati, tanda-tanda hari kiamat, penjelasan tentang sunnah dan bid’ah dan beberapa hadits yang berisi nasehat-nasehat agama.
Kepada Allah, Dzat Yang Maha Mulia kutengadahkan telapak tangan, kuberdoa dengan sepenuh hati,  kumohonkan agar kitab ini memberikan manfaat untuk diri kami dan orang-orang bodoh semisal kami. Mudah-mudahan Allah menjadikan amal kami sebagai amal shalih Liwajhillahil Karim, karena Ia lah Dzat Yang Maha Pemurah, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dengan segala pertolongan Allah Dzat yang disembah, penyusunan kitab ini dimulai.

  2.      Pasal Menjelaskan Tentang Sunnah dan Bid’ah

 فَصْلٌ فِيْ بَيَانِ السُّنَّةِ وَالْبِدْعَةِ
اَلسُّنَّةُ بِالضَّمِّ وَالتَّشْدِيْدِ كَمَا قَالَ أَبُو الْبَقَاءِ فِيْ كُلِّيَّتِهِ : لُغَةً اَلطَّرِيْقَةُ وَلَوْ غَيْرَ مَرْضِيَّةٍ. وَشَرْعًا اِسْمٌ لِلطَّرِيْقَةِ الْمَرْضِيَّةِ الْمَسْلُوْكَةِ  فِي الدِّيْنِ سَلَكَهَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَوْ غَيْرُهُ مِمَّنْ عُلِمَ فِي الدِّيْنِ كَالصَّحَابَةِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ لِقَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ  مِنْ بَعْدِيْ. وَعُرْفًا مَا وَاظَبَ عَلَيْه مُقْتَدًى نَبِيًّا كَانَ اَوْ وَلِيًّا. وَالسُّنِّيُّ مَنْسُوْبٌ اِلَى السُّنَّةِ حُذِفَ التَّاءُ لِلنِّسْبَةِ.

Lafadz as-Sunnah dengan dibaca dhammah sin-nya dan diiringi dengan tasydid, sebagaimana dituturkan oleh Imam al-Baqa’ dalam kitab Kulliyat-nya secara etimologi adalah thariqah (jalan), sekalipun yang tidak diridhai.
Menurut terminologi syara’ as-Sunnah  merupakan thariqah (jalan) yang diridhai dalam menempuh agama sebagaimana yang telah ditempuh oleh Rasulullah Saw. atau selain beliau, yakni mereka yang memiliki otoritas sebagai panutan di dalam masalah agama seperti para sahabat Ra.
Hal ini didasarkan pada sabda Nabi Saw.: “Tetaplah kalian untuk berpegang teguh pada sunnahku dan sunnahnya Khulafaur Rasyidin setelahku.”
Sedangkan menurut terminologi ‘urf  adalah apa yang dipegangi secara konsisten oleh tokoh yang menjadi panutan, apakah ia sebagai nabi ataupun wali. Adapun istilah as-Sunni merupakan bentuk penisbatan dari lafadz as-Sunnah  dengan membuang ta’ untuk penisbatan.

وَالْبِدْعَةُ كَمَا قَالَ الشَّيْخُ زَرُوْقٌ فِيْ عُدَّةِ الْمُرِيْدِ : شَرْعًا إِحْدَاثُ اَمْرٍ فِي الدِّيْنِ يُشْبِهُ اَنْ يَكُوْنَ مِنْهُ وَلَيْسَ مِنْهُ سَوَاءٌ كَانَ بِالصُّوْرَةِ اَوْ بِالْحَقِيْقَةِ. لِقَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ  وَسَلَّمَ : مَنْ أَحْدَثَ فِيْ اَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ. وَقَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ  وَسَلَّمَ :" وَكُلُّ مُحْدَثٍ بِدْعَةٌ "
Bid’ah sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Zaruq di dalam kitab ‘Iddat al-Murid menurut terminologi syara’ adalah: “Menciptakan hal perkara baru dalam agama seolah-olah ia merupakan bagian dari urusan agama, padahal sebenarnya bukan, baik dalam tataran wacana, penggambaran maupun dalam hakikatnya.”
Hal ini didasarkan pada sabda Nabi Saw.: “Barangsiapa menciptakan perkara baru didalam urusanku, padahal bukan merupakan bagian daripadanya, maka hal itu ditolak.”
Dan sabda Nabi Saw.: “Dan segala bentuk perkara yang baru adalah bid’ah.”

وَقَدْ بَيَّنَ الْعُلَمَاءُ رَحِمَهُمُ اللهُ أَنَّ الْمَعْنَى فِي الْحَدِيْثَيْنِ الْمَذْكُوْرَيْنِ رَاجِعٌ لِتَغْيِيْرِ الْحُكْمِ بِاعْتِقَادِ مَا لَيْسَ بِقُرْبَةٍ قُرْبَةً لَا مُطْلَقِ الْإِحْدَاثِ, اِذْ قَدْ تَنَاوَلَتْهُ الشَّرِيْعَةُ بِأُصُوْلِهَا فَيَكُوْنُ رَاجِعًا اِلَيْهَا اَوْ بِفُرُوْعِهَا فَيَكُوْنُ مَقِيْسًا عَلَيْهَا.

Para ulama  rahimahullaah menjelaskan tentang esensi dari makna dua hadits tersebut di atas dikembalikan kepada  perubahan suatu hukum dengan mengukuhkan sesuatu yang sebenarnya bukan merupakan ibadah tetapi diyakini sebagai konsepsi ibadah. Jadi bukanlah segala bentuk pembaharuan yang bersifat umum. Karena kadang-kadang bisa jadi perkara baru itu berlandaskan dasar-dasar syari’ah secara asal sehingga ia menjadi bagian dari syari’at itu sendiri, atau berlandaskan  furu’us syyari’ah sehingga ia dapat dianalogikan kepada syari’at.

وَقَالَ الْعَلَّامَةُ مُحَمَّدٌ وَلِيُّ الدِّيْنِ  اَلشِّبْثِيْرِيُّ فِيْ شَرْحِ الْأَرْبَعِيْنَ النَّوَوِيَّةِ عَلَى قَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ أَحْدَثَ حَدَثًا اَوْ آوَى مُحْدِثًا فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ

Al-‘Allamah Muhammad Waliyuddin asy-Syibtsiri dalam Syarh al-Arba’in an-Nawawiyyah memberikan komentar atas sebuah hadits Nabi Saw.: “Barangsiapa membuat persoalan baru atau mengayomi seseorang yang membuat pembaharuan, maka ditimpakan kepadanya laknat Allah.”

وَدَخَلَ فِي الْحَدِيْثِ اَلْعُقُوْدُ الْفَاسِدَةُ, وَالْحُكْمُ مَعَ الْجَهْلِ وَالْجَوْرِ وَنَحْوُ ذَلِكَ مِمَّا لَا يُوَافِقُ الشَّرْعَ. وَخَرَجَ عَنْهُ مَا لَا يَخْرُجُ عَنْ دَلِيْلِ الشَّرْعِ كَالْمَسَائِلِ الْاِجْتِهَادِيَّةِ الَّتِيْ لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اَدِلَّتِهَا رَابِطٌ اِلَّا ظَنُّ الْمُجْتَهِدِ وَكِتَابَةِ الْمُصْحَفِ وَتَحْرِيْرِ الْمَذَاهِبِ وَكُتُبِ النَّحْوِ وَالْحِسَابِ .

Masuk dalam kerangka interpretasi hadits ini yaitu berbagai bentuk akad-akad  fasidah, menghukumi dengan kebodohan dan ketidakadilan, dan lain-lain dari  berbagai bentuk penyimpangan terhadap ketentuan syara’.
Keluar dari bingkai pemahaman terhadap hadits ini yakni segala hal yang tidak keluar dari dalil syara’ terutama yang berkaitan dengan masalah-masalah ijtihadiyah dimana tidak terdapat korelasi yang tegas antara masalah-masalah tersebut dengan dalil-dalilnya kecuali sebatas persangkaan mujtahid. Dan seperti menulis Mushaf, mengintisarikan pendapat-pendapat imam madzhab, menyusun kitab nahwu dan ilmu hisab.

وَلِذَا قَسَّمَ ابْنُ عَبْدِ السَّلَامِ اَلْحَوَادِثَ اِلَى الْأَحْكَامِ الْخَمْسَةِ  فَقَالَ : اَلْبِدْعَةُ فِعْلُ مَالَمْ يُعْهَدْ فِيْ عَصْرِ رَسُوْلِ اللهِ  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاجِبَةً كَتَعَلُّمِ النَّحْوِ وَغَرِيْبِ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ مِمَّا يُتَوَقَّفُ فَهْمُ الشَّرِيْعَةِ عَلَيْهِ, وَمُحَرَّمَةً كَمَذْهَبِ الْقَدَرِيَّةِ وَالْجَبَرِيَّةِ وَالْمُجَسِّمَةِ, وَمَنْدُوْبَةً كَإِحْدَاثِ الرُّبُطِ وَالْمَدَارِسِ وَكُلِّ إِحْسَانٍ لَمْ يُعْهَدْ فِي الْعَصْرِ الْأَوَّلِ, وَمَكْرُوْهَةً كَزُخْرُفَةِ الْمَسَاجِدِ وَتَزْوِيْقِ الْمَصَاحِفِ, وَمُبَاحَةً كَالْمُصَافَحَةِ عَقِبَ صَلَاةِ الصُّبْحِ وَالْعَصْرِ وَالتَّوَسُّعِ فِي الْمَأْكَلِ وَالْمَشْرَبِ وَالْمَلْبَسِ وَغَيْرِ ذَلِكَ .

Karena itulah Imam Ibnu Abdis Salam membagi perkara-perkara yang baru itu ke dalam hukum-hukum yang lima. Beliau berkata:
Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikenal (terjadi) pada masa Rasulullah Saw. (Bid’ah tersebut adakalanya):
1.      Bid’ah Wajibah: seperti  mempelajari ilmu nahwu dan mempelajari lafadz-lafadz yang gharib baik yang terdapat di dalam al-Quran ataupun as-Sunnah, dimana pemahaman terhadap syari’ah menjadi tertangguhkan pada sejauhmana seseorang dapat memahami maknanya.
2.      Bid’ah Muharramah: seperti aliran Qadariyah, Jabariyah dan Mujassimah.
3.      Bid’ah Mandubah: seperti memperbaharui sistem pendidikan pondok pesantren dan madrasah-madrasah, juga segala bentuk kebaikan yang tidak dikenal pada zaman generasi pertama Islam.
4.      Bid’ah Makruhah: seperti berlebih-lebihan menghiasai masjid, menghiasi mushaf dan lain sebagainya.
5.      Bid’ah Mubahah: seperti bersalaman selesai shalat Shubuh dan Ashar, membuat lebih dalam  makanan dan minuman, pakaian dan lain sebagainya.”

فَإِذَا عَرَفْتَ مَا ذُكِرَ تَعْلَمُ اَنَّ مَا قِيْلَ : إِنَّهُ بِدْعَةٌ, كَاتِّخَاذِ السُّبْحَةِ, وَالتَّلَفُّظِ بِالنِّيَّةِ, وَالتَّهْلِيْلِ عِنْدَ التَّصَدُّقِ عَنِ الْمَيِّتِ مَعَ عَدَمِ الْمَانِعِ عَنْهُ, وَزِيَارَةِ الْقُبُوْرِ وَنَحْوِ ذَلِكَ لَيْسَ بِبِدْعَةٍ

Setelah kita mengetahui apa yang telah dituturkan di muka maka diketahui bahwa adanya klaim bahwa berikut ini adalah bid’ah, seperti memakai tasbih, melafadzkan niat, membaca tahlil ketika bersedekah setelah kematian dengan catatan tidak adanya  perkara yang mencegah untuk bersedekah tersebut, menziarahi makam dan lain-lain, maka kesemuanya bukanlah merupakan bid’ah.

وَإِنَّ مَا أُحْدِثَ مِنْ أَخْذِ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْأَسْوَاقِ اللَّيْلِيَّةِ, وَاللَّعِبِ بِالْكُوْرَةِ وَغَيْرَ ذَلِكَ مِنْ شَرِّ الْبِدَعِ

Dan sesungguhnya perkara-perkara baru seperti penghasilan manusia yang diperoleh dari pasar-pasar malam, bermain undian pertunjukan gulat dan lain-lain adalah termasuk seburuk-buruknya bid’ah.
3.      Pasal Menjelaskan Penduduk Jawa Berpegang kepada Madzhab Ahlusunnah wal Jama’ah dan Awal Kemunculan Bid’ah dan Meluasnya di Jawa serta Macam-macam Ahli Bid’ah di Zaman ini

(فَصْلٌ) فِيْ بَيَانِ تَمَسُّكِ أَهْلِ جَاوَى بِمَذْهَبِ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ، وَبَيَانِ ابْتِدَاءِ ظُهُوْرِ الْبِدَعِ وَانْتِشَارِهَا فِيْ أَرْضِ جَاوَى، وَبَيَانِ أَنْوَاعِ الْمُبْتَدِعِيْنَ فِيْ هَذَا الزَّمَانِ
قَدْ كَانَ مُسْلِمُوا الْأَقْطَارِ الْجَاوِيَةِ فِي الْأَزْمَانِ السَّالِفَةِ الْخَالِيَةِ مُتَّفِقِي الْآرَاءِ وَالْمَذْهَبِ وَمُتَّحِدِي الْمَأْخَذِ وَالْمَشْرَبِ، فَكُلُّهُمْ فِي الْفِقْهِ عَلَى الْمَذْهَبِ النَّفِيْسِ مَذْهَبِ الْإِمَامِ مُحَمَّدِ بْنِ إِدْرِيْسَ، وَفِيْ أُصُوْلِ الدِّيْنِ عَلَى مَذْهَبِ الْإِمَامِ أَبِي الْحَسَنِ الْأَشَعَرِيِّ، وَفِي التَّصَوُّفِ عَلَى مَذْهَبِ الْإِمَامِ الْغَزَالِيِّ وَالْإِمَامِ أَبِي الْحَسَنِ الشَّاذِلِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ أَجْمَعِيْنَ

Umat Islam yang mendiami wilayah Jawa sejak zaman dahulu telah bersepakat dan menyatu dalam pandangan keagamaannya. Di bidang fiqh, mereka berpegang kepada madzhab Imam Syafi’i, di bidang ushuluddin berpegang kepada madzhab Abu al-Hasan al-Asy’ari, dan di bidang tasawwuf berpegang kepada madzhab Abu Hamid al-Ghazali dan Abu al-Hasan asy-Syadzili, semoga Allah meridhai mereka semua.

ثُمَّ إِنَّهُ حَدَثَ فِيْ عَامِ اَلْفٍ وَثَلَاثِمِائَةٍ وَثَلَاثِيْنَ أَحْزَابٌ مُتَنَوِّعَةٌ وَآرَاءٌ مُتَدَافِعَةٌ وَأَقْوَالٌ مُتَضَارِبَةٌ، وَرِجَالٌ مُتَجَاذِبَةٌ، فَمِنْهُمْ سَلَفِيُّوْنَ قَائِمُوْنَ عَلَى مَا عَلَيْهِ أَسْلَافُهُمْ مِنَ التَّمَذْهُبِ بِالْمَذْهَبِ الْمُعَيَّنِ وَالتَّمَسُّكِ بِالْكُتُبِ الْمُعْتَبَرَةِ الْمُتَدَاوِلَةِ، وَمَحَبَّةِ أَهْلِ الْبَيْتِ وَالْأَوْلِيَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ، وَالتَّبَرُّكِ بِهِمْ أَحْيَاءً وَأَمْوَاتًا،
وَزِيَارَةِ الْقُبُوْرِ وَتَلْقِيْنِ الْمَيِّتِ وَالصَّدَقَةِ عَنْهُ وَاعْتِقَادِ الشَّفَاعَةِ وَنَفْعِ الدُّعَاءِ وَالتَّوَسُّلِ وَغَيْرِ ذَلِكَ.

Kemudian pada tahun 1330 H  timbul berbagai pendapat yang saling bertentangan, isu yang bertebaran dan pertikaian di kalangan para pemimpin. Diantara mereka ada yang berafiliasi pada kelompok Salafiyyin yang memegang teguh tradisi para tokoh pendahulu. Mereka bermadzhab kepada satu madzhab tertentu dan berpegang teguh kitab-kitab mu’tabar, kecintaan terhadap Ahlul Bait Nabi, para wali dan orang-orang salih. Selain itu juga tabarruk dengan mereka baik ketika masih hidup atau setelah wafat, ziarah kubur, mentalqin mayit, bersedekah untuk mayit, meyakini syafaat, manfaat doa dan tawassul serta lain sebagainya. 

وَمِنْهُمْ فِرْقَةٌ يَتَّبِعُوْنَ رَأْيَ مُحَمَّدْ عَبْدُهْ وَرَشِيدْ رِضَا ، وَيَأْخُذُوْنَ مِنْ بِدْعَةِ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الْوَهَّابِ النَّجْدِيْ ، وَأَحْمَدَ بْنِ تَيْمِيَّةَ وَتِلْمِيْذَيْهِ ابْنِ الْقَيِّمِ وَعَبْدِ الْهَادِيْ

Diantara mereka (sekte yang muncul pada kisaran tahun 1330 H.), terdapat juga kelompok yang mengikuti pemikiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Mereka melaksanakan kebid’ahan Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi, Ahmad bin Taimiyah serta kedua muridnya,  Ibnul Qoyyim dan Abdul Hadi.

فَحَرَّمُوْا مَا أَجْمَعَ الْمُسْلِمُوْنَ عَلَى نَدْبِهِ ، وَهُوَ السَّفَرُ لِزِيَارَةِ قَبْرِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَخَالَفُوْهُمْ فِيْمَا ذُكِرَ وَغَيْرِهِ

Mereka mengharamkan hal-hal yang telah disepakati oleh orang-orang Islam sebagai sebuah kesunnahan, yaitu bepergian untuk menziarahi makam Rasulullah Saw. serta berselisih dalam kesepakatan-kesepakatan lainnya.

قَالَ ابْنُ تَيْمِيَّةَ فِيْ فَتَاوِيْهِ : وَإِذَا سَافَرَ لِاعْتِقَادِ أَنَّها أَيْ زِيَارَةَ قَبْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَاعَةٌ ، كَانَ ذَلِكَ مُحَرَّمًا بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِيْنَ ، فَصَارَ التَّحْرِيْمُ مِنَ الْأَمْرِ الْمَقْطُوْعِ بِهِ

Ibnu Taimiyah menyatakan dalam Fatawa-nya: “Jika seseorang bepergian dengan berkeyakinan bahwasanya  mengunjungi makam Nabi Saw. sebagai sebuah bentuk ketaatan,  maka  perbuatan tersebut  hukumnya haram dengan  disepakati oleh umat Muslim. Maka keharaman tersebut termasuk perkara yang harus ditinggalkan.”

قَالَ الْعَلَّامَةُ الشَّيْخُ مُحَمَّدْ بَخِيتْ اَلْحَنَفِيُّ اَلْمُطِيْعِيُّ فِيْ رِسَالَتِهِ اَلْمُسَمَّاةِ تَطْهِيْرَ الْفُؤَادِ مِنْ دَنَسِ الْإِعْتِقَادِ : وَهَذَا الْفَرِيْقُ قَدْ اُبْتُلِيَ الْمُسْلِمُوْنَ بِكَثِيْرٍ مِنْهُمْ سَلَفًا وَخَلَفًا ، فَكَانُوْا وَصْمَةً وَثُلْمَةً فِي الْمُسْلِمِيْنَ وَعُضْوًا فَاسِدًا

Al-‘Allamah Syaikh Muhammad Bakhit al-Hanafi al-Muth’i menyatakan dalam kitabnya Thathhir al-Fuad min Danas al-I’tiqad (Pembersihan Hati dari Kotoran Keyakinan) bahwa: “Kelompok ini sungguh menjadi cobaan berat bagi umat Muslim, baik salaf maupun khalaf. Mereka adalah duri dalam daging (musuh dalam selimut) yang hanya merusak keutuhan Islam.”

يَجِبُ قَطْعُهُ حَتَّى لَا يُعْدِى الْبَاقِيَ ، فَهُوَ كَالْمَجْذُوْمِ يَجِبُ الْفِرَارُ مِنْهُمْ ، فَإِنَّهُمْ فَرِيْقٌ يَلْعَبُوْنَ بِدِيْنِهِمْ يَذُمُّوْنَ الْعُلَمَاءَ سَلَفًا وَخَلَفًا

Maka wajib menanggalkan/menjauhi (penyebaran) ajaran mereka agar yang lain tidak tertular. Mereka laksana penyandang lepra yang mesti dijauhi. Mereka adalah kelompok yang mempermainkan agama mereka. Hanya bisa menghina para ulama, baik salaf maupun khalaf.

وَيَقُوْلُوْنَ : إِنَّهُمْ غَيْرُ مَعْصُوْمِيْنَ فَلَا يَنْبَغِيْ تَقْلِيْدُهُمْ ، لَا فَرْقَ فِيْ ذَلِكَ بَيْنَ
الْأَحْيَاءِ وَالْأَمْوَاتِ يَطْعَنُوْنَ عَلَيْهِمْ وَيُلْقُوْنَ الشُّبَهَاتِ ،
وَيَذُرُّوْنَهَا فِيْ عُيُوْنِ بَصَائِرِ الضُّعَفَاءِ ، لِتَعْمَى أَبْصَارُهُمْ عَنْ عُيُوْبِ هَؤُلَاءِ

Mereka menyatakan: “Para ulama bukanlah orang-orang yang terbebas dari dosa, maka tidaklah layak mengikuti mereka, baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal.”
Mereka menyebarkan (pandangan/asumsi) ini pada orang-orang bodoh agar tidak dapat mendeteksi kebodohan mereka.

وَيَقْصِدُوْنَ بِذَلِكَ إِلْقَاءَ الْعَدَاوَةِ وَالْبَغْضَاءِ ، بِحُلُوْلِهِمْ اَلْجَوَّ وَيَسْعَوْنَ فِي الْأَرْضِ فَسَادًا ، يَقُوْلُوْنَ عَلَى اللهِ الْكَذِبَ وَهُمْ يَعْلَمُوْنَ ، يَزْعُمُوْنً أَنَّهُمْ قَائِمُوْنَ بِالْأَمْرِ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيِ عَنِ الْمُنْكَرِ ، حَاضُّوْنَ النَّاسَ عَلَى اتِّبَاعِ الشَّرْعِ وَاجْتِنَابِ الْبِدَعِ ، وَاللهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُوْنَ .

Maksud dari propaganda ini adalah munculnya permusuhan dan kericuhan. Dengan penguasaan atas jaringan teknologi, mereka membuat kerusakan di muka bumi. Mereka menyebarkan kebohongan mengenai Allah, padahal mereka menyadari kebohongan tersebut. Menganggap dirinya melaksanakan amar makruf nahi munkar, merecoki masyarakat dengan mengajak untuk mengikuti ajaran-ajaran syariat dan menjauhi kebid’ahan. Padahal Allah Maha Mengetahui, bahwa mereka berbohong.
4.      Pasal Menjelaskan tentang Khitthah Ajaran Salaf Shaleh dan Menjelaskan yang Dikehendaki “As-Sawadul A’dzam” di Era ini serta Menjelaskan Pentingnya Berpegang Teguh pada Salah Satu Madzhab yang Empat

(فَصْلٌ) فِيْ بَيَانِ خِطَّةِ السَّلَفِ الصَّالِحِ، وَبَيَانِ الْمُرَادِ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ
فِيْ هَذَا الْحِيْنِ، وَبَيَانِ أَهَمِّيَّةِ الْإِعْتِمَادِ بِأَحَدِ الْمَذَاهِبِ الْأَرْبَعَةِ
إِذَا فَهِمْتَ مَا ذُكِرَ عَلِمْتَ أَنَّ الْحَقَّ مَعَ السَّلَفِيِّيْنَ الَّذِيْنَ كَانُوْا عَلَى خِطَّةِ السَّلَفِ الصَّالِحِ، فَإِنَّهُمْ اَلسَّوَادُ الْأَعْظَمُ، وَهُمْ اَلْمُوَافِقُوْنَ عُلَمَاءَ الْحَرَمَيْنِ
الشَّرِيْفَيْنِ وَعُلَمَاءِ الْأَزْهَرِ الشَّرِيْفِ اَلَّذِيْنَ هُمْ قُدْوَةُ رَهْطِ أَهْلِ الْحَقِّ وَفِيْهِمْ عُلَمَاءُ لَا يُمْكِنُ اِسْتِقْصَاءُ جَمِيْعِهِمْ مِنْ اِنْتِشَارِهِمْ فِي الْأَقْطَارِ وَالْآفَاقَ كَمَا لَا يُمْكِنُ إِحْصَاءُ نُجُوْمِ السَّمَاءَ.

Dengan pemahaman di atas, diketahui bahwa sesungguhnya kebenaran yang haqiqi itu berpihak pada kalangan Salafiyyin generasi terdahulu yang berpijak pada khitthah Salaf Shaleh. Merekalah  as-Sawadul A’dzam. Mereka  menyepakati konsepsi-konsepsi agama yang ditetapkan oleh ulama-ulama Haramain Syarifain (Makkah dan Madinah) dan ulama-ulama al-Azhar yang mulia. Kesemuanya adalah menjadi panutan kelompok Ahlul Haq. Di sana banyak ulama yang tidak bisa dihitung berapa jumlahnya, karena menyebarnya tempat domisili mereka di berbagai daerah, sebagaimana tidak  dapat bintang-bintang di langit.

وَقَدْ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {إِنَّ اللهَ تَعَالَى لَا يَجْمَعُ أُمَّتِيْ عَلَى ضَلَالَةٍ، وَيَدُ اللهِ عَلَى الْجَمَاعَةِ، مَنْ شَذَّ شَذَّ إِلَى النَّارِ} رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ. زَادَ ابْنُ مَاجَهْ: {فَإذَا وَقَعَ الإِخْتِلاَفُ فَعَلَيْكَ بِالسَّوَادِ الأَعْظَمِ} مَعَ الْحَقِّ وَأَهْلِهِ. وَفِي الْجَامِعِ الصَّغِيْرِ: {إِنَّ اللهَ تَعَالَى قَدْ أَجَارَ أُمَّتِيْ أَنْ تَجْتَمِعَ عَلَى ضَلَالَة}

Rasulullah Saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak akan menghimpun umatku di atas kesesatan. Dan Yad Allah di atas al-Jama’ah.” (HR. at-Tirmidzi). Ibn Majah menambahkan (riwayat): “Maka jika terjadi perselisihan, berpeganglah pada as-Sawadul A’dzam yaitu al-haq dan ahlul haq.”
Di dalam kitab al-Jami’ ash-Shaghir disebutkan: “Sesungguhnya Allah menyelamatkan umatku dari bersepakat atas perbuatan sesat.”

وَأَكْثَرُهُمْ أَهْلُ الْمَذَاهِبِ الْأَرْبَعَةِ، فَكَانَ الْإِمَامُ الْبُخَارِيُّ شَافِعِيًّا، أَخَذَ عَنِ الْحُمَيْدِيِّ وَالزَّعْفَرَانِيِّ وَالْكَرَابِيْسِيِّ. وَكَذَلِكَ ابْنُ خُزَيْمَةَ وَالنَّسَائِيُّ.
وَكَانَ الْإِمَامُ الْجُنِيْدُ ثَوْرِيًّا، وَالشِّبْلِيُّ مَالِكِيًّا، وَالْمُحَاسِبِيُّ شَافِعِيًّا، وَالْجَرَيْرِيُّ حَنَفِيًّا، وَالْجِيْلَانِيُّ حَنْبَلِيًّا، وَالشَّاذِلِيُّ مَالِكِيًّا .

Mayoritas dari mereka adalah pengikut al-Madzahib al-Arba’ah (madzhab yang empat). Imam Bukhari adalah bermadzhab Syafi’i. Beliau mengambil dari Imam Humaidi, az -Za’farani dan  Karabi’isi. Demikian juga Imam Ibnu Khuzaimah dan Imam Nasa’i.
Imam Junaid adalah pengikut Imam Tsauri, Imam Syibli adalah pengikut madzhab Maliki, Imam Muhasibi adalah pengikut madzhab Syafi’i, Imam al-Jariry merupakan penganut Imam Abu Hanifah (Hanafi), Syaikh Abdul Qadir al-Jailani bermadzhab Hanbali dan Imam Abu al-Hasan asy-Syadzili pengikut madzhab Maliki.

فَالتَّقَيُّدُ بِمَذْهَبٍ مُعَيَّنٍ أَجْمَعُ لِلْحَقِيْقَةِ، وَأَقْرَبُ لِلتَّبَصُّرِ، وَأَدْعَى لِلتَّحْقِيْقِ، وَأَسْهَلُ تَنَاوُلًا. وَعَلَى هَذَا دَرَّجَ اَلْأَسْلَافُ الصَّالِحُوْنَ، وَالشُّيُوْخُ الْمَاضُوْنَ رِضْوَانُ اللهِ تَعَالَى عَلَيْهِمْ أَجْمَعِيْنَ.

Maka dengan mengikuti satu madzhab tertentu akan lebih dapat terfokus pada satu nilai kebenaran yang haqiqi, lebih dapat memahami secara mendalam dan akan lebih memudahkan dalam mengimplementasikan amalan. Dengan menentukan pada satu pilihan madzhab inilah berarti ia telah pula melakukan jalan yang juga ditempuh oleh salafunas shalih. Mudah-mudahan keridhaan Allah terlimpahcurahkan pada mereka semua.

فَنَحْنُ نَحُضُّ إِخْوَانَنَا عَوَامَّ الْمُسْلِمِيْنَ أَنْ يَتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ، وَأَنْ لَا يَمُوْتُوْا إِلَّا وَهُمْ مُسْلِمُوْنَ، وَأَنْ يُصْلِحُوْا ذَاتَ الْبَيْنِ مِنْهُمْ، وَأَنْ يَصِلُو الْأَرْحَامَ، وَأَنْ يُحْسِنُوْا إِلَى الْجِيْرَانِ وَالْأَقَارِبِ وَالْإِخْوَانِ، وَأَنْ يَعْرِفُوْا حَقَّ الْأَكَابِرِ، وَأَنْ يَرْحَمُوْا الضُّعَفَاءَ وَالْأصَاغِرَ وَنَنْهَاهُمْ عَنِ التَّدَابُرِ وَالتَّبَاغُضِ وَالتَّقَاطُعِ وَالتَّحَاسُدِ وَالْإفْتِرَاقِ وَالتَّلَوُّنِ فِي الدِّيْنِ،

Kami menghimbau kepada kawan-kawan kami, orang awam dari mayoritas kaum Muslimin agar senantiasa bertakwa kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa. Dan senantiasa berharap agar tidak meninggalkan dunia yang fana ini kecuali sebagai orang Islam.
Dan agar melakukan rekonsiliasi dengan  orang  yang berselisih antara mereka, merekatkan tali persaudaraan, bersikap dan berperilaku baik terhadap semua tetangga, kerabat dan seluruh teman, dapat memahami dan melaksanakan hak-hak para pemimpin, bersikap santun dan belas kasihan terhadap kaum dhu’afa dan kalangan wong cilik.
Kita berusaha mencegah mereka dari segala bentuk permusuhan, saling benci-membenci, memutuskan hubungan, hasut-menghasut, sekterianisme dan membentuk sekte-sekte baru yang mengkotak-kotakkan agama.

وَنَحُثُّهُمْ أَنْ يَكُوْنُوْا إِخْوَانًا، وَعَلَى الْخَيْرِ أَعْوَانًا، وَأَنْ يَعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيْعًا، وَأَنْ لَا يَتَفَرَّقُوْا، وَأَنْ يَتَّبِعُوا الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ وَمَا كَانَ عَلَيْهِ عُلَمَاءُ الْأُمَّةِ كَالْإِمَامِ أَبِيْ حَنِيْفَةَ وَمَالِكِ بْنِ أَنَسٍ وَالشَّافِعِيِّ وَأَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُمْ أَجْمَعِيْنَ، فَهُمْ اَلَّذِيْنَ قَدْ اِنْعَقَدَ الْإِجْمَاعُ عَلَى امْتِنَاعِ الْخُرُوْجِ عَنْ مَذَاهِبِهِمْ،

Kami menghimbau pada mereka semua untuk bersatu, bersahabat, tolong-menolong dalam kebaikan, berpegang teguh pada agama Allah yang kokoh dan menghindari perpecahan. Hendaknya tetap eksis berpedoman pada al-Kitab dan as-Sunnah, dan apa saja yang menjadi tuntunan para ulama panutan umat semisal Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal radhiyallaahu ‘anhum. Ijma’ menetapkan larangan keluar dari madzhab-madzhab mereka.

وَأَنْ يُعْرِضُوْا  عَمَّا أُحْدِثَ مِنَ الْجَمْعِيَّةِ الْمُخَالِفَةِ لِمَا عَلَيْهِ الْأَسْلَافُ الصَّالِحُوْنَ، فَقَدْ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {مَنْ شَذَّ شَذَّ إِلىَ النَّارِ}،

Hendaknya  mereka juga berpaling dari segenap bentuk organisasi-organisasi baru yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar yang dibangun oleh Salafus Shalih. Rasulullah Saw.: “Barangsiapa memisahkan diri (dari mayoritas) maka ia akan terpisah di neraka.”

وَأَنْ يَكُوْنُوْا مَعَ الْجَمَاعَةِ الَّتِيْ عَلَى طَرِيْقَةِ الْأَسْلَافِ الصَّالِحِيْنَ، فَقَدْ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {وَأَنَا آمُرُكُمْ بِخَمْسٍ أَمَرَنِيَ اللهُ بِهِنَّ: اَلسّمْعِ وَالطَاعَةِ وَالْجِهَادِ وَالْهِجْرَةِ وَالْجَمَاعَةِ، فَإِنَّ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ قِيْدَ شِبْرٍ، فَقَدْ خَلَعَ رِبْقَةَ الْإِسْلاَمِ مِنْ عُنُقِهِ}، وَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: {عَلَيْكُمْ بِالْجَماعَةِ، وَإِيَّاكُمْ وَالْفُرْقَةَ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ مَعَ الْوَاحِدِ وَهُوَ مَعَ الْاِثْنَيْنِ أَبْعَدُ. وَمَنْ أَرَادَ بُحْبُوْبَةَ الْجَنّةِ فَلْيَلْزَمِ الْجَماعَةَ}.

Untuk itu hendaknya mereka tetap konsisten memegangi al-Jama’ah ‘ala Thariqah as-Salaf ash-Shalihin. Rasulullah Saw. bersabda: “Aku perintahkan pada kalian semua untuk melaksanakan lima hal, dimana Allah telah memerintahkan hal itu padaku, yakni bersedia untuk mendengarkan, taat dan siap untuk berjihad, melakukan hijrah dan bergabung masuk dalam bingkai al-Jama’ah. Sesungguhnya seseorang yang berpisah dari jamaah walaupun hanya sejengkal, berarti sungguh ia telah melepaskan ikatan tali keislamannya dari lehernya.”
Sayyidina Umar bin Khatthab Ra. berkata: “Berpegangteguhlah kalian semua pada al-Jama’ah. Hindarkan diri kalian dari segala bentuk perpecahan. Karena sesungguhnya setan ketika menyertai anda seorang diri saja, maka dengan sangat mudah ia menaklukkannya dibanding ketika ia menyertai dua orang yang bersekutu. Barangsiapa bermaksud dan ingin mendapat kenikmatan hidup di dalam surga maka tetaplah bersama al-Jama’ah.”
5.      Pasal Menjelaskan Wajibnya Taqlid bagi Orang yang Tidak Memiliki Keahlian untuk Berijithad

فَصْلٌ) فِيْ بَيَانِ وُجُوْبِ التَّقْلِيْدِ لِمَنْ لَيْسَ لَهْ أَهْلِيَّةُ الْإِجْتِهَادِ)
يَجِبُ عِنْدَ جُمْهُوْرِ الْعُلَمَاءِ الْمُحَقِّقِيْنَ عَلَى كُلِّ مَنْ لَيْسَ لَهُ أَهْلِيَّةُ الْإِجْتِهَادِ
الْمُطْلَقِ، وَإِنْ كَانَ قَدْ حَصَلَ بَعْضُ الْعُلُوْمِ الْمُعْتَبَرَةِ فِي الْإِجْتِهَادِ تَقْلِيْدُ قَوْلِ الْمُجْتَهِدِيْنَ وَالْأَخْذُ بِفَتْوَاهُمْ لِيَخْرُجَ عَنْ عُهْدَةِ التَّكْلِيْفِ بِتَقْلِيْدِ أَيِّهِمْ شَاءَ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَاسْأَلوْا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ}،
فَأَوْجَبَ السُّؤَالَ عَلَى مَنْ لَمْ يَعْلَمْ ذَلِكَ، وَذَلِكَ تَقْلِيْدٌ لِعَالِمٍ، وَهُوَ عَامٌّ لِكُلِّ الْمُخَاطَبِيْنَ،

Menurut pandangan jumhur ulama, setiap orang yang tidak memiliki keahlian untuk sampai pada tingkat kemampuan sebagai mujtahid mutlak, sekalipun ia telah mampu menguasai beberapa cabang keilmuan yang dipersyaratkan di dalam melakukan ijtihad, maka wajib baginya untuk mengikuti (taqlid) pada satu qaul dari para imam mujtahid dan mengambil fatwa mereka agar ia dapat keluar dan terbebaskan dari ikatan beban (taklif) yang mewajibkannya untuk mengikuti siapa saja yang ia kehendaki dari salah satu imam mujtahid. Sebagaimana difirmankan oleh Allah Ta’ala: “Maka bertanyalah kalian semua kepada ahli ilmu jika kalian semua tidak mengetahui.”
Allah mewajibkan bertanya bagi orang yang tidak mengetahui. Nah bertanya itu merupakan perwujudan sikap taqlid seseorang kepada orang yang alim. Firman Allah ini berlaku secara umum untuk semua golongan yang dikhithabi (obyek sasaran perintah).

وَيَجِبُ أَنْ يَكُوْنَ عَامًّا فِي السُّؤَالِ عَنْ كُلِّ مَا لَا يُعْلَمُ لِلْإِجْمَاعِ عَلَى أَنَّ الْعَامَّةَ لَمْ تَزَلْ فِيْ زَمَنِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَكُلِّ حُدُوْثِ الْمُخَالِفِيْنَ يَسْتَفْتُوْنَ الْمُجْتَهِدِيْنَ وَيَتَّبِعُوْنَهُمْ فِي الْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ وَالْعُلَمَاءَ، فَإِنَّهُمْ يُبَادِرُوْنَ إِلَى إِجَابَةِ سُؤَالِهِمْ مِنْ غَيْرِ إِشَارَةٍ إِلَى ذِكْرِ الدَّلِيْلِ، وَلَا يَنْهَوْنَهُمْ عَنْ ذَلِكَ مِنْ غَيْرِ نَكِيْرٍ، فَكَانَ إِجْمَاعًا عَلَى اتِّبَاعِ الْعَامِّيِّ لِلْمُجْتَهِدِ،

Secara umum pula, firman Allah ini mewajibkan kita untuk bertanya dan mempertanyakan segala sesuatu yang tidak kita ketahui, sesuai dengan kesepakatan/konsensus jumhurul ‘ulama. Karena sesungguhnya orang yang beridentitas awam itu pasti ada sejak zaman generasi sahabat, tabi’in dan hingga zaman setelahnya. Mereka wajib meminta fatwa kepada para mujtahid dan mengikuti fatwa-fatwa mereka dalam hukum-hukum syari’ah dan mengimplementasikannya sesuai dengan petunjuk ulama.
Karena sesungguhnya para mujtahid dan ulama bersegera menjawab pertanyaan mereka tanpa memberi isyarah untuk menuturkan dalil. Para mujtahid dan ulama tidak melarang orang  awam minta fatwa tanpa ada pengingkaran. Kondisi yang sedemikianlah yang lantas disepakati adanya kewajiban bagi orang awam untuk mengikuti pendapat seorang mujtahid.

وَلِأَنَّ فَهْمَ الْعَامِّيِّ مِنَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ سَاقِطٌ عَنْ حَيْزِ الْإِعْتِبَارِ، إِنْ لَمْ يُوَافِقْ أَفْهَامَ عُلَمَاءِ أَهْلِ الْحَقِّ الْأَكَابِرِ الْأَخْيَارِ

Dan  orang awam itu tidak memiliki kemampuan dan otoritas untuk memahami al-Kitab dan as-Sunnah dan tentunya pemahamannya tidaklah dapat diterima jika tidak cocok dengan pemahaman ulama ahlul haq yang agung dan terpilih.

فَإِنَّ كُلَّ مُبْتَدِعٍ وَضَالٍّ يَفْهَمُ أَحْكَامَهُ الْبَاطِلَةَ مِنَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَيَأْخُذُ مِنْهُمَا وَالْحَالُ أَنَّهُ لَا يُغْنِيْ مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا.

Karena sesungguhnya orang yang ahli bid’ah dan orang yang sesat, mereka memahami hukum-hukum secara bathil dari al-Kitab dan as-Sunnah. Pada kenyataannya apapun yang diambil oleh ahli bid’ah tidaklah dapat dipegangi sebagai kebenaran.

وَلَا يَجِبُ عَلَى الْعَامِّيِّ إِلْتِزَامُ مَذْهَبٍ فِيْ كُلِّ حَادِثَةٍ، وَلَوْ اِلْتَزَمَ مَذْهَبًا مُعَيَّنًا كَمَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى لَا يَجِبُ عَلِيْهِ الْإِسْتِمْرَارُ، بَلْ يَجُوْزُ لَهُ الْإِنْتِقَالُ إِلَى غَيْرِ مَذْهَبِهِ.

Bagi orang awam tidak diwajibkan untuk tetap konsisten mengikuti satu madzhab saja dalam menyikapi setiap masalah baru yang muncul. Walaupun ia telah menetapkan untuk mengikuti satu madzhab tertentu seperti madzhabnya Imam Syafi’i rahimahullaahu, tidaklah selamanya ia harus mengikuti madzhab ini. Bahkan diperkenankan baginya untuk pindah pada madzhab yang lain selain madzhab Syafi’i.

وَالْعَامِّيُّ الَّذِيْ لَمْ يَكُنْ لَهُ نَظَرٌ وَاسْتِدْلَالٌ وَلَمْ يَقْرَأْ كِتَابًا فِيْ فُرُوْعِ الْمَذْهَبِ إِذَا قَالَ: أَنَا شَافِعِيٌّ، لَمْ يُعْتَبَرْ هَذَا كَذَلِكَ بِمُجَرَّدِ الْقَوْلِ،

Seorang awam yang tidak memiliki kemampuan untuk melakukan pengkajian masalah dan istidlal (melakukan pencarian sumber dalil) atau ia juga tidak memiliki kemampuan membaca sebuah kitabpun yang ada sebagai referensi dalam sebuah madzhab, lantas ia mengatakan bahwa saya adalah bermadzhab Syafi’i, maka pernyataan yang sedemikian itu tidaklah absah sebagai pengakuan bilamana hanya sekedar ucapan belaka.

وَقِيْلَ: إِذَا الْتَزَمَ الْعَامِّيُّ مَذْهَبًا مُعَيَّنًا يَلْزَمُهُ الْإِسْتِمْرَارُ عَلَيْهِ لِأَنَّهُ إِعْتَقَدَ أَنَّ الْمَذْهَبَ الَّذِيْ اِنْتَسَبَ إِلَيْهِ هُوَ الْحَقُّ، فَعَلَيْهِ الْوَفَاءُ بِمُوْجَبِ اعْتِقَادِهِ. وَلْلْمُقَلِّدِ تَقْلِيْدُ غَيْرِ إِمَامِهِ فِيْ حَادِثَةٍ، فَلَهُ أَنْ يُقَلِّدَ إِمَامًا فِيْ صَلَاةِ الظُّهْرِ مَثَلًا وَيُقَلِّدَ إِمَامًا آخَرَ فِيْ صَلَاةِ الْعَصْرِ.

Tetapi menurut sebuah pendapat yang lain menyatakan bahwa ketika seorang awam itu konsisten mengikuti satu madzhab tertentu maka wajiblah baginya untuk menetapkan madzhab pilihannya. Karena jelas seorang awam itu meyakini bahwa madzhab yang ia pilih adalah madzhab yang benar. Maka konsekuensi yang harus ia terima adalah wajib menjalankan apa yang menjadi ketentuan madzhab yang ia yakini.
Bagi seseorang yang taqlid  boleh mengikuti selain imamnya dalam sebuah masalah yang timbul padanya. Misalnya saja ia taqlid pada satu imam dalam melaksanakan shalat Dzuhur, dan ia taqlid dan mengikuti imam lain dalam melaksanakan shalat Ashar.

وَالتَّقْلِيْدُ بَعْدَ الْعَمَلِ جَائِزٌ، فَلَوْ صَلَّى شَافِعِيٌّ ظَنَّ صِحَّةَ صَلَاتِهِ عَلَى مَذْهَبِهِ ثُمَّ تَبَيَّنَ بُطْلَانُهَا فِيْ مَذْهَبِهِ وَصِحَّتُهَا عَلَى مَذْهَبِ غَيْرِهِ فَلَهُ تَقْلِيْدُهُ وَيَكْتَفِيْ بِتِلْكَ الصَّلَاةِ.

Jadi taqlid setelah selesainya melakukan sebuah amal atau ibadah adalah boleh. Untuk memahami hal ini dapatlah digambarkan sebuah masalah: “Bila seorang yang bermadzhab Syafi’i melakukan shalat dan ia menyangka atas keabsahan shalatnya menurut pandangan madzhabnya, ternyata kemudian menjadi jelas bahwa shalatnya adalah batal menurut madzhab yang dianutnya dan sah bila menurut pendapat yang lain, maka baginya boleh langsung taqlid pada madzhab lain yang mengesahkan shalatnya. Dengan demikian cukup terpenuhilah kewajiban shalatnya.”
6.      Pasal Menjelaskan Perpecahan Umat Nabi Muhammad Saw. Menjadi 73 Sekte dan Penjelasan tentang Pokok-pokok Sekte yang Sesat dan Penjelasan Golongan yang Selamat, Yakni Ahlussunnah wal Jama’ah

 فَصْلٌ) فِيْ بَيَانِ افْتِرَاقِ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى ثَلَاثٍ)
وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً، وَبَيَانِ أُصُوْلِ الْفِرَقِ الضَّالَّةِ وَبَيَانِ الْفِرْقَةِ
النَّاجِيَةِ وَهُمْ أَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ.
رَوَى أَبُوْ دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِيُّ وَابْنُ مَاجَهْ عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
{اِفْتَرَقَتِ الْيَهُوْدُ عَلَى إحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً، وَتَفَرّقَتِ النَّصَارَى عَلَى اِثْنَتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، وَتَفَرّقَتِ أُمّتِيْ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً، كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلَّا وَاحِدَةٌ، قَالُوْا: وَمَنْ هُمْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: هُمْ اَلَّذِيْ أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِيْ}.

Imam Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah telah meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah Ra., sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda: “Kaum Yahudi telah terpecah menjadi 71 golongan, dan kaum Nasrani terpecah menjadi 72 golongan, dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, semua golongan tersebut masuk neraka kecuali hanya satu golongan saja. Para sahabat bertanya: “Siapa (satu golongan yang selamat itu) wahai Rasulullah?” Rasulullah Saw. menjawab: “Golongan yang selamat itu adalah kelompok yang komitmen dalam mengikutiku dan para sahabatku.”

قَالَ الشِّهَابُ الْخَفَاجِيُّ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى فِي نَسِيْمِ الرِّيَاضِ: وَالْفِرْقَةُ النَّاجِيَةُ هُمْ أَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ.

Imam Syihab Khafaji rahimahullah berkata di dalam kitabnya Nasim ar-Riyadh: “Golongan yang selamat itu adalah kelompok Ahlussunnah wal Jama’ah.”

وَفِيْ حَاشِيَةِ الشَّنْوَانِيِّ عَلَى مُخْتَصَرِ ابْنِ أَبِيْ جَمْرَةَ: هُمْ أَبُو الْحَسَنِ الْأَشْعَرِيُّ وَجَمَاعَتُهُ أَهْلُ السُّنَّةِ وَأَئِمَّةُ الْعُلَمَاء، لِأَنَّ اللهَ تَعَالَى جَعَلَهُمْ حُجَّةً عَلَى خَلْقِهِ، وَإِلَيْهِم تَفْزَعُ الْعَامَّةُ فِيْ دِيْنِهِمْ، وَهُمْ اَلْمَعْنِيُّوْنَ بِقَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {إِنَّ اللهَ لَا يَجْمَعُ أُمَّتِيْ عَلَى ضَلَالَةٍ}.

Dalam kitab Hasyiyah asy-Syanwani ‘ala Mukhtashar Ibn Abi Jamrah dinyatakan bahwa golongan yang selamat itu adalah mereka yang berafiliasi kepada Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dan jamaahnya yaitu Ahlussunnah dan aimmatul ‘ulama. Karena Allah Ta’ala  telah menjadikan mereka  sebagai hujjah bagi makhlukNya. Dan kepada merekalah masyarakat memiliki kecondongan dalam mengembalikan berbagai permasalahan agama mereka.
Golongan inilah yang dikehendaki Rasulullah Saw. dengan sabda beliau: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengumpulkan ummatku untuk sepakat dalam berbuat kesesatan.”

قَالَ الْإمَامُ أَبُوْ مَنْصُوْرِ بْنُ طَاهِرٍ اَلتَّمِيْمِيُّ فِيْ شَرْحِ هَذَا الْحَديْثِ: قَدْ عَلِمَ أَصْحَابُ هَذِهِ الْمَقَالَاتِ أَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  لَمْ يُرِدْ بِالْفِرَقِ الْمَذْمُوْمَةِ اَلْمُخْتَلِفِيْنَ فِيْ فُرُوْعِ الْفِقْهِ مِنْ أَبْوَابِ الْحَلَالِ وَالْحَرَامِ، وَإِنَّمَا قَصَدَ بِالذَّمِّ مَنْ خَالَفَ أَهْلَ الْحَقِّ فِيْ أُصُوْلِ التَّوْحِيْدِ، وَفِيْ تَقْدِيْرِ الْخَيْرِ وَالشَّرِّ، وَفِيْ شُرُوْطِ النُّبُوَّةِ وَالرِّسَالَةِ، وَفِيْ مُوَالَاةِ الصَّحَابَةِ وَمَا جَرَى مَجْرَى هَذِهِ الْأَبْوَابِ، لِأَنَّ الْمُخْتَلِفِيْنَ فِيْهَا قَدْ كَفَّرَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا بِخِلَافِ النَّوْعِ الْأَوَّلِ، فَإِنَّهُمْ اِخْتَلَفُوْا فِيْهِ مِنْ غَيْرِ تَكْفِيْرٍ وَلَا تَفْسِيْقٍ لِلْمُخَالِفِ فِيْهِ، فَيُرْجَعُ تَأْوِيْلُ الْحَدِيْثِ فِي افْتِرَاقِ الْأُمَّةِ إِلَى هَذَا النَّوْعِ مِنَ الْإِخْتِلَافِ.

Imam Abu Mansur bin Thahir at-Tamimi dalam menjelaskan hadits ini mengemukakan: “Sungguh orang-orang yang memiliki maqalah ini mengetahui bahwa Rasulullah Saw. tidak bermaksud mengidentifikasi golongan yang tercela itu ditujukan kepada golongan yang berselisih dalam menyikapi masalah-masalah fiqh yang bersifat furu’iyyah, yang berkaitan dengan hukum halal dan haram. Akan tetapi beliau Saw. menghendaki dengan pencelaan tersebut untuk orang yang menentang ahlul haq di dalam permasalahan dasar-dasar tauhid, di dalam masalah taqdir baik dan buruk, di dalam memberikan batasan-batasan/syarat-syarat kenabian dan kerasulan, di dalam masalah bagaimana mencintai para sahabat, dan hal apa saja yang berkaitan dengan masalah-masalah tersebut di atas. Karena mereka yang berselisih dalam masalah-masalah ini telah saling mengkafirkan satu sama lainnya. Berbeda dengan perselisihan yang terjadi pada golongan pertama. Mereka berbeda pendapat dalam masalah-masalah fiqh tanpa mengkafirkan yang lain dan tanpa menfasiq-kan golongan lain yang berbeda pendapat. Oleh karena itulah interpretasi yang benar adalah disandarkan pada perbedaan-perbedaan pendapat macam ini (perbedaan aqidah, bukan perbedaan furu’iyyah dalam fiqh).”

وَقَدْ حَدَثَ فِيْ آخِرِ أَيَّامِ الصَّحَابَةِ خِلَافَ الْقَدَرِيَّةِ مِنْ مَعْبَدٍ اَلْجُهَنِيّ وَأَتْبَاعِهِ، وَتَبَرَّأَ مِنْهُمْ اَلْمُتَأَخِّرُوْنَ مِنَ الصَّحَابَةِ كَعَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ وَجَابِرٍ وَأَنَسٍ وَنَحْوِهِمْ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ أَجْمَعِيْنَ.

Pada masa akhir  era sahabat terjadilah perselisihan, yaitu Qodariyyah yang dicikalbakali oleh Ma’bad  al-Juhani dan para pengikutnya. Dalam perselisihan ini sejumlah sahabat mutaakhirin berlepas tangan dari golongan tersebut, seperti Abdullah bin Umar, Jabir, Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhum ajma’in dan lain-lain.

ثُمَّ حَدَثَ الْخِلَافُ بَعْدَ ذَلِكَ شَيْئًا شَيْئًا إِلَى أَنْ تَكَامَلَتْ اَلْفِرَقُ الضَّالَّةُ اِثْنَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً، وَالثَّالِثَةُ وَالسَّبْعُوْنَ هُمْ أَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ، وَهُمْ اَلْفِرَقُ النَّاجِيَةُ

Setelah itu, bermuncullah perbedaan-perbedaan pendapat, dan sedikit demi sedikit hingga sempurnalah perpecahan di antara ummat Islam itu menjadi 72 golongan yang sesat, dan golongan yang ke 73 adalah Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai kelompok yang selamat.

فَإِنْ قِيْلَ: هَذِهِ الْفِرَقُ مَعْرُوْفَةٌ؟ فَالْجَوَابُ: إِنَّا نَعْرِفُ الْإِفْتِرَاقَ وَأُصُوْلَ الْفِرَقِ، وَأَنَّ كُلَّ طَائِفَةٍ مِنَ الْفِرَقِ اِنْقَسَمَتْ إِلَى فِرَقٍ وَإِنْ لَمْ نُحِطْ بِأَسْمَاءِ تِلْكَ الْفِرَقِ وَمَذَاهِبِهَا.

Jika ditanyakan: “Apakah sekte-sekte itu kesemuanya diketahui dan populer di tengah-tengah kita?” Maka jawabannya: “Kita mengetahui perpecahan dan  pokok-pokok sekte-sekte tersebut, dan kita mengetahui setiap kelompok dari sekte-sekte tersebut terbagi lagi dalam beberapa kelompok, walaupun secara detail kita tidak mengetahui nama dari masing-masing sekte itu sekaligus madzhab yang mereka anut masing-masing.”

وَأُصُوْلُ الْفِرَقِ اَلْحَرُوْرِيَّةُ، وَالْقَدَرِيَّةُ، وَالْجَهْمِيَّةُ، وَالْمُرْجِئَةُ، وَالرَّافِضَةُ، وَالْجَبَرِيَّةُ. وَقَدْ قَالَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ رَحِمَهُمُ اللهُ تَعَالَى: أُصُوْلُ الْفِرَقِ الضَّالَّةِ هَذِهِ السِّتُّ، وَقَدْ اِنْقَسَمَتْ كُلُّ فِرْقَةٍ مِنْهَا اِثْنَتَيْ عَشْرَةَ فِرْقَةً فَصَارَتْ إِلَى اثْنَتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً.

Pokok-pokok sekte tersebut  ialah golongan Haruriyah, Qadariyah, Jahmiyah, Murji’ah, Rafidhah dan Jabariyah. Sebagian dari ahli ilmu menegaskan bahwa pokok-pokok sekte yang sesat adalah enam golongan tersebut. Masing-masing dari 6 kelompok terpecah menjadi 12 sekte hingga terhitunglah jumlah menjadi 72 sekte.

قَالَ ابْنُ رُسْلَانَ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى: قِيْلَ إِنَّ تَفْصِيْلَهَا عِشْرُوْنَ، مِنْهُمْ رَوَافِضُ، وَعِشْرُوْنَ مِنْهُمْ خَوَارِجُ، وَعِشْرُوْنَ قَدَرِيَّةٌ، وَسَبْعَةٌ مُرْجِئَةٌ، وَفِرْقَةٌ نَجَّارِيَّةٌ، وَهُمْ أَكْثَرُ مِنْ عَشْرِ فِرَقٍ وَلَكِنْ يُعَدُّوْنَ وَاحِدَةً، وَفِرْقَةٌ حَرُوْرِيَّةٌ، وَفِرْقَةٌ جَهْمِيَّةٌ، وَثَلَاثُ فِرَقٍ كَرَّامِيَّةٌ، فَهِذهِ اِثْنَتَانِ وَسَبْعُوْنَ فِرْقَةً.
Imam Ibnu Ruslan rahimahullaah berkata: “Sebuah pendapat mengemukakan bahwa secara rinci golongan-golongan tersebut dapat diklasifikasikan menjadi 20 golongan. Diantara mereka termasuk golongan Rawafidh (Rafidhah), 20 sekte golongan Khawarij, 20 golongan Qadariyah, 7 golongan Murji’ah dan satu golongan Najjariyah. Masing-masing itupun tersekat-sekat menjadi lebih dari 10 golongan, tetapi perpecahan kelompok-kelompok itu hanya dihitung sebagai satu sekte, dan satu golongan Haruriyah, dan satu golongan Jahmiyah, dan 3 golongan Karramiyah. Dari rincian inilah secara keseluruhan terhitung jumlah sekte adalah 72 golongan.

وَاللهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ
***
_______________________________________
Sumber Penulisan: Irsyad as-Sari fi Jam’ Muallafat asy-Syaikh Hasyim Asy’ari halaman 5-24 oleh Gus Ishom (KH. Ishomuddin Hadziq) cucu Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari. Dan dialihbahasakan oleh KH. Abdullah Afif Pekalongan pada tanggal 21 Syawwal 1434 H/28 Agustus 2013 M

Jumat, 28 November 2014

Senin, 24 November 2014

KARAKTERISTIK PAHAM AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH UKHUWAH NAHDLIYAH


KELAS XII
BAB I
KARAKTERISTIK PAHAM AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH

Nahdlatul Ulama adalah Jam’iyah Diniyah Islamiyah, didirikan oleh para ulama yang memiliki kesamaan visi dan misi keagamaan Islam Aswaja.
Paham Aswaja bersumber dari sebutan yang dinyatakan oleh Nabi Muhammad yaitu “ ma’ana alahil yauma wa ashhabi” ( apa yang aku berada di atasnya bersama para sahabatku). Dengan kata lain Aswaja adalah ajaran ( wahyu Allah)  diturunkan kepada Nabi Muhamad dan disampaikan kepada para sahabatnyadan diamalkan oleh Nabi Muhammad beserta para sahabatnya. Intinya terletak pada keterpaduan iman, Islam dan ihsan yang tercermin pada cara berpikir, bersikap, dan berperilaku dalam seluruh aspek kehidupan.
Syarat mutlak bagi segenap anggota Jam’iyyah terutama para pemimpin harus memiliki karakter pejuang. Pada hakekatnya Jam’iyyah NU adalahmedan pengabdian dan perjuangan, tidak masuk akal apabila seorang pemimpin tidak memiliki karakter pejuang yang tercermin pada kepribadiaannya.
Kepribadian dan identitas pejuang NU menandai karakteristik yang berbeda dengan orang lain dalam praktik sehari-hari dalam melaksanakan ibadah dan muamalah> Itulah sebenarnya yang menjadi tujuan NU yang sejak awal berdirinya dikenal dengan “ Mabadi’ Khaira Ummah “
A. MABADI’ KHAIRO UMMAH SEBAGAI MISI NAHDLATUL ULAMA
1.  Pengertian, Tujuan dan Prinsip-prinsip Mabadi Khaira Ummah
a. Pengertian Mabadi’ Khairo Ummah
Mabadi’ Khaira Ummah adalah Prinsip-prinsip dasar yang melandasi terbentuknya umat yang terbaik. Gerakan Mabadi’ Khaira Ummah merupakan langkah awal pembentukan umat terbaik (Khaira ummah) yaitu suatu umat yang mampu melaksanakan tugas-tugas waljama’ah yang merupakan bagian terpenting dari kiprah Nahdlatul Ulama.
Amar Ma’ruf adalah mengajak dan mendorong perbuatan, baik yang bermanfaat bagi kehidupan duniawi dan ukhrowi, sedangkan Nahi Munkar adalah menolak dan mencegah segala yang dapat merugikan, merusak dan merendahkan nilai-nilai kehidupan dan kemanusiaan.
Oleh karena itu, Amar Ma’ruf Nahi Munkar merupakan dua sendi yang tidak dapat dipisahkan untuk mencapai kebahagiaan lahiriyah dan batiniyah. Prinsip dasar yang melandasi disebut Mabadi’ Khaira Ummah, kalimat Khairo Ummah diambil dari kandungan Al-Qur’an suarat Ali Imran ayat 110 yang berbunyi :
كنتم خير امة اخرجت للناس تأمرون با لمعروف وتنهون عن المنكر وتؤمنون با لله
Artinya : Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah (QS. Ali Imran :110)
b. Tujuan dan Isi Mabadi’ Khaira Ummah
Gerakan Mabadi’ Khaira Ummah yang pertama diarahkan kepada penggalangan warga untuk mendukung program pembangunan ekonomi NU. Program ini menjadi perhatian serius saat ini, sebagaimana hasil keputusan Muktamar NU ke 28 di Yogyakarta tahun 1989 yang mengamanatkan kepada PBNU agar menangani masalah sosial dan ekonomi secara bersungguh-sungguh.
Prinsi-prinsip dasar yang terkandung dalam Mabadi’ Khaira Ummah tersebut amat relevan dengan dimensi personal dalam pembinaan manajemen organisasi, baik organisasi usaha (bisnis) maupun organisasi sosial lainnya.
c. Prinsi-prinsip Mabadi’ Khaira Ummah
Pada Musyawarah Nasional Alim Ulama di Lampung tahun 1992, gerakan Mabadi’ Khaira Ummah kembali dimunculkan ke permukaan dan bahkan lebih dikembangkan lagi. Mabadi’ Khaira Ummah yang pada asalnya hanya terdiri atas tiga prinsip, yaitu Assidqu, Alamanah/Al wafa bil ahdi dan atta’awun sebagaimana yang dirumuskan oleh KH. Mahfudz Shidiq selaku ketua PBNU pada tahun 1935. Kemudian dalam Munas Alim Ulama dan Konbes NU di Bandar Lampung tahun 1992, tiga prinsip tersebut ditambah dua poin lagi yakni Al’adalah dan Al istiqomah. Sehingga menjadi lima prinsip dan disebut juga sebagai “ Mabadiul Khomsah “.
Dasar pemikiran adanya penambahan tersebut adalah perbedaan tantangan situasional yang berbeda antara tahun 1935 dan tahun-tahun mendatang, selain itu juga adanya perbedaan sasaran yang ingin dicapai. Sasaran pada waktu itu hanya pembentukan jati diri dan watak warga NU, sedangkan sekarang ini diharapkan sebagai modal dasar bagi pembentukan tata kehidupan baru yang lebih baik.


2. Uraian dan Pemasyarakatan Mabadi’ Khairo Ummah
Pada pembahasan ini akan diuraikan makna-makna yang terkandung dalam Mabadi’ Khoiro Ummah, yaitu :
1.  Asshidqu ( memiliki integritas Kejujuran)
Butir ini mengandung arti kejujuran pada diri sendiri, sesama dan kepada Allah sebagai pencipta, Asshidqu mengandung arti juga kebenaran, kenyataan, kesungguhan dan keterbukaan . Kejujuran dan kebenaran adalah satunya kata dengan perbuatan, jujur dalam hal ini berarti tidak plin plan dan tidak dengan sengaja memutarbalikkan fakta atau memberikan informasi yang mnyesatkan.
Firman Allah :
يا ايها الدين أمنو ااتقواالله وكونوا مع الصدقين (التوبة: 119)
Artinya : Hai orang-orang yang eriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar
Sabda Nabi :
 عليكم با لصدق فان الصد ق يهدى الى البر وان الير يهدى الى الجنة وما يزال الرجل ويتحرى الصدق حتى يكتب عند الله صديقا ( متفق عليه )
Artinya : Tetaplah kamu jujur (benar) karena kejujuran itu menunjukkan kepada kebaktian, dan kebaktian itu menunjukkan kepada surga, seorang laki-laki enantiasa jujur dan mencari kejujuran sampai dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur (Mutafaq Alaihi)
2.  Al Amanah Walwafa Bil ‘Ahdi ( Terpercaya dan Taat dan Memenuhi Janji )
Butir ini memuat dua istilah yang saling kait, yakni alamanah dan al wafa bil’ahdi. Yang pertama secara lebih umum meliputi semua beban yang harus dilaksanakan , baik ada perjanjian maupun tidak, sedang yang disebut belakangan hanya berkaitan dengan perjanjian, kedua istilah ini digabungkan untuk memperoleh satu kesatuan pengertian yang meliputi dapat dipercaya, setia dan tepat janji.
Dapat dipercaya adalah sifat yang dilekatkan pada seseorang yang dapat melaksanakan semua tugas yang dipikulnya, baik yang bersifat diniyyah maupun ijtimaiyyah (kemasyarakatan)
Firman Allah :
إن الله يأ مر كم ان تؤ دواالا منت الى اهلها .. (النساء : 58)
Artinya : Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya
Sabda Nabi :
ادالامانة الى من ائتمنك ولا تخن من خا نك ...(رواه التر مدي)
Artinya : Sampaikanlah amanat itu kepada orang yang memberi kepercayaan kepadamu, dan jangan mengkhianati orang yang berkhianat kepadamu (HR. Turmudzi)
3. Al ‘Adalah ( Tegak Lurus dalam Meneguhkan Rasa Adil dan Keadilan)
Bersikap Adil Al’adalah mengandung pengertian obyektif, proporsional dan taat asas. Butir ini mengharuskan orang berpegang kepada kebenaran obyektif dan menempatkan segala sesuatu pada tempatnya.
Firman Allah :
واد حكمتم بين الناس ان تحكموا با لعدل ... ( النساء : 58)
Artinya : Dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, supaya kamu menetapkan dengan adil. (QS. An Nisa’ 58)
Implikasi lain dari Al ‘adalah adalah kesetiaan pada aturan main (correct) dan rasional dalam membuat keputusan, termasuk dalam alokasi sumber daya dan tugas. Prinsipnya adalah the right man on the plece ( menempatkan personal sesuai dengan bidang kecakapannya).


4. Atta’awun (Saling Menolong)
Atta’awun merupakan sendi dalam tat kehidupan masyarakat yaitu manusia sebagai makhluq sosial tidak dapat hidup tanpa berintraksi dengan masyarakat sekitarnya. Prinsipo ini mengandung pengertian tolong menolong, setia kawan, dan gotong royong dalam mewujudkan kebaikan dan ketaqwaan. Imam Mawardi mengaitkan pengertian Al-birr (kebaikan) dengan kerelaan manusia, sedangkan attaqwa (ketaqwaan) dengan kerelaan Allah.
Prinsip Aata’awun menjunjung tinggi sikap solidaritas sesma manusia dan beriteraksi bahu membahu dalam hal kebaikan. Mengembangkan sikap atta’awun berarti  juga mengupayakan konsolidasi.
Allah berfirman :
وتعاونوا على البر والتقوى, ولا تعاونوا على الاسم واتعدوان , وتقواالله, انالله شديد العقاب (المائدة: 2)
Artinya : Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan kamu jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah sesungguhnya Allah amat berat siksaNya. (QS.Al Maidah:2)
Sabda Rasulullah SAW :
والله في عون العبد ما كان العبد في عون اخيه (رواه مسلم )
Artinya : Allah selalu menolonh seorang hamba selama hamba itu menolong saudaranya (HR. Muslim)
5. Al Istiqomah ( Konsisten )
Al Istiqomah mengandung pengertian ajeg-jejeg, kesinambungan, keberlanjutan dan kontuinitas. Ajeg –jejeg artinya tetap dan tidak bergeser dari jalur (thoriqot) sesuai dengan ketentuan Allah SWT, RasulNya, para salaf Al salih dan aturan yang telah disepakati  bersama. Kesinambungan artinya keterikatan antara satu kegiatan dengan kegiatan yang lain dan antra satu periode dangan periode yang lain sehingga semuanya merupakan sat u kesatuan yang saling menopang dan terkait seperti sebuah bangunan. Keberlanjutan (kontinuitas) artinya  bahwa pelaksanaan kegiatan-kegiatan tersebut merupakan proses yang berlangsung terus menerus tanpa mengalami kemandegan, merupakan proses maju bukannya berjalan di tempat.
B.  STRATEGI PEMASYARAKATAN MABADI KHOIRO UMMAH
Sebagai nilai-nilai universal, butir-butir mabadi’ khoir ummah memang dapat menjadi jawaban langsung bagi problem-problem sosial yang dihadapi oleh masyarakat, tetapi sosialisasi nilai-nilai tersebut harus dimulai dari diri sendiri. Dalam hal ini dimulai dari warga NU sendiri.
Mabadi’ Khoiro Ummah merupakan jalan panjang bagi terwujudnya obsesi warga Nahdliyin untuk menjadi umat terbaik (Khoiro ummah) yang dapat berperan positif di tengah masyarakat.
Dalam tataran implementasi mabadi’ Khoiro Ummah sangat berkaitan dengan konsep Amar Ma’ruf Nahi Munkar  sebagaimana firman Allah dala Al Qur’an surat Al’A’raf ayat 157. Lebih jauh dikatakan bahwa konsep Amar Ma’ruf nahi Munkar merupakan instrumen gerakan NU sekaligus barometer keberhasilan mabadi khoiro ummah sebagai sebuah karakter kaum nahdliyin.
Aktualisasi doktrin di atas tentu memerlukan pemahaman dan perhitungan yang cermat, mengingat doktrin tersebut sangat berkaitan dengan realitas sosial, maksudnya setiap umat Islam mempunyai kewajiban moral untuk melakukan aktifitas yang dapat memberikan implikasi positif bagi manusia di sekitarnya.
Dari intraksi individu (ukhuwah Islamiyah) akan tercipta interaksi sosial (ukhuwah insaniyah) dalam bingkai menuju cita-cita masyarakat madani (ukhuwah wathoniyah)
NU berpendapat bahwa implementasi Amar Ma’ruf (mendorong untuk berbuat baik) harus lebih diutamakan sampai terciptanya tatanan kehidupan manusia yang beradab. Langkah berikutnya adalah nahi munkar (melarang berbuat kemungkaran). NU juga meyakini bahwa upaya pembentukan Khoiro Ummah tetap mengacu kepada kaidah :
من كان امره معروفا فليكن بالمفروف
Artinya :  Siapa yang memerintah kebaikan, haruslah dengan cara yang baik pula

KELAS XII
BAB II
PERILAKU WARGA NAHDLATUL ULAMA DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI
A.     Kaidah Fiqhiyah Sebagai Dasar Pembentukan Perilaku Nahdliyin
Sebelum NU lahir telah terjadi akulturasi antara budaya local dan nilai Islam di tengah-tengah umat Islam Indonesia dari akulturasi itu terwujudlah menjadi tradisi baru yang mengakar di masyarakat. Kelompok Islam ini menyatu dalam pola piker (Ittifaq al-ara’ wal-madzhab) dan referensi tradisi social keagamaan (ittihad Al-ma’khad wal-masyrab).
Dasar pembentukan prilaku etika moral kaum Nahdliyin yang bercirikan sikap tawasuth (tengah-tengah/moderat),  tawazun (seimbang), tasamuh (toleran) dan I’tidal (adil) merupakan implementasi dari kekukuhan mereka dalam memegang prinsip-prinsip keagamaan (qoidah Al-Fiqhiyah) yang dirumuskan oleh ulama klasik, diantara prinsip-prinsip keagamaan tersebut adalah al’adatul Muhakkamah “
      (العادة المحكمة ) artinya sebuah tradisi dapat menjelma menjadi pranata sosial keagamaan.
Maksudnya rumusan hokum yang tidak bersifat absolute dapat ditata selaras dengan subkultur sebuah komunitas masyarakat menurut ruang dan waktunya dengan mengacu kepada kesejahteran dan kebaikan masyarakat tersebut, hal ini dapat dilakukan selama tidak kontradiktif dengan prinsip qoidah umum dan prinsip universal.
Qoidah Fiqhiyah :
العادة المحكمة مالم يخالف الشرع
Artinya : Adat kebiasaan atau budaya itu bias dijadikan hokum selama tidak bertentangan dengan norma agama
Qoidah fiqhiyah tersebut menjadikan performa Islam sangat baik, sehingga agama menjadi dinamis dan membumi, yang selalu actual di tengah-tengah masyarakat.
Umat Islam juga mengenal prinsip dasar keagamaan dengan menggunakan kaidah :
المحافظة على القديم الصالح والا خد بالجديد الاصلح  
Artinya : Upaya pelestarian nilai-nilai yang baik di masa lalu dan melakukan adopsi nilai-nilai baru yang lebih baik.
Qoidah tersebut merupakan instrumen bagi proses rekonsiliasi agama dan budaya. Agama dan budaya merupakan dua hal yang berbeda serta mempunyai independensi tersendiri, agama berasal dari wahyu Allah oleh karena itu bersifat suci dan permanen, sedangkan budaya adalah produk manusia yang selalu berubah-ubah dan dinamis.
Selanjutnya kaum nahdliyin mengenal kaidah :
الحكم يدور مع علته وجودا وعدما
Artinya : Sebuah keputusan itu terikat dengan sebabnya
Maksudnya sebuah kebijakan yang dilakukan sangat dipengaruhi oleh reasoningnya, oleh karena itu sebuah keputusan tidak dapat berdiri sendiri, ia sangat bergantung kepada alasan keputusan tersebut.
Kaidah lainnya adalah :
ادا تعارض مفسدتان رعي اعظمهما ضررا بارتكاب اخفهما
Artinya : Jika terjadi kemungkinan komplikasi yang membahayakan maka yang dipertimbangkan adalah resiko yang terbesar dengan cara melaksanakan yang paling kecil resikonya.
Kaidah ini merupakan solusi untuk menghindari resiko buruk dengan cara menghindari langkah-langkah ideal beresiko tinggi, setiap langkah kebijakan di tengah masyarakat selalu mengandung resiko, karena itu resiko buruk harus menjadi pertimbangan dengan cara memilih kebijakan yang mempunyai dampak buruk paling ringan.
Kaum nahdliyain juga mengenal kaidah :
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
Artinya : Mencegah marabahaya lebih diutamakan dari pada meraih kebaikan
Maksudnya masyarakat perlu memilih langkah menghindari bahaya daripada mengupayakan kebaikan yang berisiko tinggi, prinsip ini mendorong masyarakat untuk bertindak cermat dan tepat sehingga aktivitasnya benar-benar berdampak positif, baik bagi dirinya maupun orang lain.
Kaidah lain :
تصرف الامام منوط بمصلحة الرعية
Artinya : Kebijakan pemimpin harus mengacu kepada kebaikan rakyatnya.
Maksudnya seorang penguasa merupakan penjelmaan kepentingan rakyatnya, ia bukanlah repreentasi dirinya sendiri, karena itu segala kebijakan yang diambil harus mengacu kepada kepentingan rakyat.
B.     Perilaku Keagamaan NU
Islam Aswaja merupakan prinsip utama NU, sedangkan formulasi khitthah NU, mabadi’ Khoiro Ummah, dan beberapa kaidah fiqhiyah merupakan tafsir atas prinsip utama yang diharapkan mampu mewujudkan kepribadian dan perilaku-perilaku warga NU.
Perilaku keagamaan warga NU yang menggunakan system bermadzhab memberikan spesifikasi di bidang Aqidah, Syari’ah dan Tasawuf.
Dibidang Aqidah cirri perilaku yang dikembangkan oleh warga NU adalah :
1.      Mengembangkan keseimbangan antara logika dan teks ilahiyyah (Dalil aqli dan Naqli), dengan pengertian dalil Aqli dipergunakan dan ditempatkan di bawah dalil naqli.
2.      Warga NU berusaha menjaga kenurnian Aqidah Islam dari pengaruh eksternal.
3.      Warga NU memahami konsep jalan tengah taqdir, yaitu percaya bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah atas ketentuan Allah sedangkan manusia mempunyai kewajiban untuk berusaha.
Dibidang aqidah ini NU mengikuti Aswaja yang dipelopori oleh Imam Abul Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi.
Dibidang syari’ah cirri perilaku warga NU adalah :
1.      Berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Hadits , dengan cara menyandarkan diri kepada hasil ijtihad dan bimbingan para ulama.
2.      Warga NU mentolelir perbedaan pendapat tentang furu’iyah dan mu’amalah ijtima’iyah selama tidak bertentangan dengan prinsip agama.
3.      Pada masalah yang sudah ada dalil nash yang shorih dan qothi (tegas dan pasti) tidak boleh ada campur tangan pendapat akal.
Dalam bidang fiqih ini NU mengikuti jalan pendekatan (Al-Madzhab) kepada salah satu dari madzhab empat, Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’I dan Imam Hanbali.
Dibidang tasawuf atau akhlaq perilaku warga NU adalah:
1.      Mempercayai bahwa antara syari’ah, aqidah dan tasawuf mempunyai kaitan, bahkan syai’ah harus diutamakan daripada tasawuf.
2.      Menganjurkan usaha memperdalam penghayatan ajaran Islam
3.      Mencegah ektrimisme yang dapat menjerumuskan orang kepada penyelewengan aqidah dan syari’ah.
4.      Berpedoman pada akhlaq yang luhur dan selalu berada diantara dua ujung sikap yang tepat atau tathorruf.misal sikap Asy-syaja’ah (berani) merupakan langkah tengah antara penakut (al-jubn) dan sembrono (at-tahawur).
Dalam bidang tasawuf/akhlaq NU mengikuti Imam Abul Qosim Al-Junaidi Al-Baghdadi dan Imam Al-Ghozali serta Imam lain yang sepaham.
C.     Perilaku Kemasyarakatan
Aswaja adalah ajaran Islam yang murni sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah, dan diamalkan oleh beliu bersama para sahabatnya, oleh karena itu dapat dipastikan bahwa karakter Aswaja sama sekali tidak bergeser dari karakter agama Islam. Dasar pendirian NU menumbuhkan sikap-sikap kemasyarakatan yang merupakan cirri perilaku kemasyarakatan NU yaitu :
1.      At-Tawassuth, artinya mengambil jalan tengah atau pertengahan, bahwa NU tidak bersikap ekstrim kanan (berkedok agama) maupun ekstrim kiri (komunis), karena kebajikan memang selamanya terletak antara dua ujung.
2.      Al-I’tidal, yang berarti tegak lurus tidak condong ke kanan dan kekiri yang berarti keadilan.
3.      At-Tasamuh, yang berarti toleran maksudnya bahwa NU toleran terhadap perbedaan pandangan dalam masalah keagamaan, terutama dalam hal-hal yang bersifat furu’yah atau khilafiyah.
4.      At-Tawazun, berarti keseimbangan, tidak berat sebelah, tidak berlebihan sesuatu unsure atau kekurangan unsure lain.
5.      Amar Ma’ruf, berarti memiliki kepekaan untuk mendorong perbuatan yang baik, berguna dan bermanfa’at bagi kehidupan.



KELAS XII
BAB III
UKHUWAH NAHDLIYAH

A.   Pengertian Ukhuwah Nahdliyah
Secara etimologi, ukhuwah nahdliyah berasal dari dua kata bahasa  Arab; ukhuwah yang artinya persaudaraan dan nahdliyah yang artinya perspektif kelompok NU. Sedangkan secara epistemology, ukhuwah nahdliyah adalah formulasi sikap persaudaraan, kerukunan, persatuan, dan solidaritas yang dilakukan oleh seseorang dengan orang lain atau satu kelompok pada kelompok lain dalam interaksi social serta menjunjung tinggi nilai-nilai agama, tradisi, dan sejarah bangsa yang menjunjung tinggi prinsip Ahlussunnah Waljama’ah.
B.    Penjabaran Ukhuwah di Bidang Sosial dan Politik
Spesifikasi kaum nahdliyin yang sangat menonjol adalah sikap kebersamaan yang tinggi dengan masyarakat di sekelilingnya. Kaum nahdliyin mampu menempatkan manusia pada kedudukan yang sama di hadapan Allah SWT. Sebagaimana firmannya sebagai berikut :
ياايها الناس انا خلقنكم من دكروانثى شعوبا وقبائل لتعارفوا, ان اكرمكم عندالله اتقكم ط
 ان الله عليم خبير (الحجرات : 13)
Artinya : “ Wahai manusia sungguh kami ciptakan kalian dari seorang laki-laki dan perempuan dan kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dab bersuku-suku supaya saling mengenal, sungguh orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa, sungguh Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengenal” (QS Alhujurat : 13)
Landasan lain dari ukhuwah nahdliyah adalah pendapat KH. Hasyim Asy’ari yang menegaskan bahwa persatuan, ikatan batin, tolong menolong, dan kesetiaan antar manusia dapat melahirkan kebahagiaan serta faktor penting bagi tumbuh kembangnya persaudaraan dan kasih sayang.
Timbulnya sikap ukhuwah dalam kehidupan masyarakat disebabkan adanya dua hal , yaitu :
1.       Adanya persamaan, baik dalam masalah keyakinan/agama, wawasan, pengalaman, kepentingan, tempat tinggal maupun cita-cita.
2.       Adanya kebutuhan, yang dirasakan hanya dapat dicapai dengan melalui kerja sama dan gotong royong serta persatuan.
Ukhuwah (persaudaraan atau persatuan) menuntut beberapa sikap dasar untuk memengaruhi kelangsungannya dalam realitas kehidupan sosial, sikap dasar tersebut adalah :
1.    Saling mengenal (taaruf)
2.    Saling menghargai (tasamuh)
3.    Saling menolong (taawun)
4.    Saling mendukung (tadlamun)
5.    Saling  menyayangi (tarahum)
Ukhuwah (persaudaraan atau persatuan) akan terganggu kelestariannya, apabila terjadi sikap-sikap destruktif (muhlikat) yang bertentangan dengan perilaku etika sosial (akhlaqul karimah) seperti :
1.       Adanya saling menghina (assakhriyyah)
2.       Adanya saling mencela (allamdzu)
3.       Adanya praduga jelek (suudhan)
4.       Adanya suka mencemarkan nama baik (ghibah)
5.       Adanya sikap kecurigaan yang berlebihan ( tajassus)
6.       Adanya sikap congkak ( takabbur)
C.    Macam – macam Ukhuwah Nahdliyah
Menurut KH. Muchit Muzadi, ukhuwah nahdliyah merupakan formulasi atas tiga konsepsi persaudaraan dalam skala terbatas yang merupakan penjabaran dari konsepsi ukhuwah Islamiyah dalam skala besar.
Dalam redaksi lain, tri ukhuwah yang dikenal dikalangan Nahdliyin berakar pada konsep yang pertama yaitu Ukhuwah Islamiyah, artinya persaudaraan, kerukunan, berdasarkan ajaran agama Islam.

Ketiga konsep persaudaraan dalam perspktif kaum Nahdliyin adalah sebagai berikut :
1.       Ukhuwah Islamiyah, yaitu Persaudaraan antar pemeluk agama Islam.
NU berpandangan bahwa kehidupan manusia sangat dipengaruhi oleh ikatan kesamaan agama, bangsa / negara dan kejadian manusia. Ukhuwah Islamiyah adalah upaya menumbuhkembangkan persaudaraan dengan berlandaskan kepada kesamaan aqidah atau agama.
2.       Ukhuwah Wathaniyah, yaitu Persaudaraan antar sesama bangsa
Pada diri manusia perlu ditumbuhkan persaudaraan yang berdasarkan atas kesadaran berbangsa dan bernegara, seluruh bangsa Indonesia adalah saudara se tanah air.
3.       Ukhuwah Insaniyah / Basyariyah, yaitu Persaudaraan sesama Umat Manusia
Seluruh manusia di dunia adalah saudara, tata hubungan dalam ukhuwah insaniyyah/basyariyah menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan martabat kemanusiaan untuk mencapai kehidupan yang sejahtera, adil dan damai. Ukeuwah insaniyyah/basyariyah bersifat solidaritas kemanusiaan.
Ukhuwah Islamiyah dan Wathaniyah merupakan dua sikap yang saling membutuhkan dan saling mendukung, sikap hubungan antara persaudaraan Islam dan persaudaraan sebangsa (persatuan Nasional) adalah :
a.       Akomodatif, adanya kesediaan untuk saling memahami pendapat, aspirasi dan kepentingan bersama.
b.      Selektif, adanya sikap kritis untuk menganalisasi dan memilih yang terbaik dan yang lebih bermanfa’at
c.       Integratif, adanya kesediaan untuk meyesuaikan dan menyelenggarakan berbagai macam kepentingan dan aspirasi secara benar, adil dan proporsional.
D.   Problema atau Hambatan Ukhuwah
Proses wawasan ukhuwh tersebut kerap kali mengalami hambatan-hambtan karena beberapa masalah yang timbul dari :
1.       Adanya kebanggaan kelompok yang berlebihan, fanatisme yang tidak terkontrol.
2.       Adanya kesempitan cakrawala berpikir, yang disebabkan oleh keterbatasan pemahaman masalah keagamaan (keIslaman)
3.       Lemahnya fungsi kepemimpinan umat dalam mengembangkan budaya ukhuwah
E.    Penerapan dan Pelestarian Ukhuwah
Dalam penerapan konsep dan wawasan ukhuwah dapat dilakukan berbagai cara dan melalui bermacam-macam lembaga dan sarana, antara lain :
1.       Ukhuwah Islamiyyah (persaudaraan Islam) seyogyanya dimulai dari lingkungan yang paling kecil (keluarga), kemudian dikembangkan yang lebih luas.
2.       Perlu adanya keteladanan yang baik dari para pemimpin
3.       Mengembangkan perluasan cakrawala berpfikir dalam masalah keagamaan maupun kemasyarakatan
4.       Terbentuknya lembaga-lembaga atau pranata-pranata yang dapat menumbuhkan kerukunan, persatuan dan solidaritas
5.       Mendayagunakan semua lembaga dan sarana baik yang disediakan pemerintah maupun swadaya masyarakat (ormas, pesantren, sekolah, kampus ) sebagai sarana pengembangan persaudaraan Islam dan persatuan Nasional.